Search tips
10 shown of 10 entitiessorted by
ICJR Sepakat dengan Pemerintah: Pengundangan KUHP Baru Wajib Menunda Eksekusi Pidana Mati Saat Ini
- Text
- Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Prof. Eddy O. S. Hiariej, menegaskan bahwa ketentuan pidana mati dalam KUHP Baru yang memuat masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati dapat diterapkan sejak undang-undang tersebut disahkan meskipun pemberlakuan undang-undang tersebut secara efektif baru akan mulai pada 2 Januari 2026. Hal tersebut disampaikan saat kegiatan sosialisasi di Universitas Syah Kuala Banda Aceh pada 28 Februari 2023. Wamenkumham RI menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (1) KUHP Baru, jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka terlapor, terperiksa, tersangka, terdakwa, terpidana harus diuntungkan dari UU tersebut. Sebagai konsekuensinya, eksekusi terhadap seluruh terpidana mati untuk itu perlu ditunda. ICJR mengapresiasi dan sepakat dengan pandangan Wamenkumham RI tersebut yang merupakan salah satu asas utama hukum pidana yaitu asas “in favor reo”, yang juga berhubungan dengan asas “in dubio pro reo” apabila nantinya muncul keragu-raguan dalam pemeriksaan perkara.
- Date added
- Mar 2, 2023
Alert
Penyiksaan dalam Praktik Pidana Mati di Indonesia: Satu Terlalu Banyak
- Text
- Setiap tanggal 10 Desember, masyarakat dunia merayakan Hari HAM Sedunia dalam rangka memperingati lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pada momen peringatan Hari HAM Sedunia 2022, ICJR berupaya untuk mengingatkan kembali komitmen Pemerintah Indonesia pada DUHAM maupun instrumen HAM lainnya terkait penghormatan terhadap seperangkat hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan.
- Date added
- Mar 2, 2023
Alert
ICJR Mempublikasi Dua Penelitian untuk Memperkuat Hak-Hak Fair Trial dalam Kasus Hukuman Mati dan Meluncurkan Database Hukuman Mati Indonesia (hukumanmati.id)
- Text
- Pada 27 April 2022, ICJR menyelenggarakan webinar series “Penguatan Prinsip Fair Trial dalam Kasus Hukuman Mati” dalam rangka meluncurkan dua penelitian sebagai rekomendasi pengaturan jaminan hak-hak fair trial pada kasus pidana mati ke depan. Dalam webinar series ini, ICJR meluncurkan penelitian pada seri 1 webinar yang secara spesifik mendiskusikan “Pertimbangan Penting Hakim dalam Kasus Hukuman Mati”, dan seri 2 membahas soal rekomendasi untuk Mendorong Pengaturan Khusus Hak-Hak Fair Trial Terpidana Mati dalam RKUHAP. ICJR juga berkomitmen untuk menyediakan informasi secara sistematis terkait kasus-kasus hukuman mati melalui sebuah Database Hukuman Mati yang berisi data/informasi terkait perkara, kasus, dokumen putusan dan grasi, publikasi penelitian, dan artikel-artikel perkembangan diskursus pidana mati. Harapannya, database ini dapat mendorong lebih banyak penelitian ilmiah dan advokasi kebijakan terkait pidana mati di Indonesia, maupun sebagai sumber untuk penelusuran kasus (case tracking) yang pernah dijatuhi hukuman mati di Indonesia. Database tersebut telah resmi diluncurkan dan dapat diakses oleh publik melalui link: hukumanmati.id.
- Date added
- Apr 28, 2022
Alert
Untuk Pemulihan Korban, Pidana Mati Bukan Solusi!
- Text
- ICJR mengutuk tindakan pelaku dan mengamini kemarahan publik, namun jangan sampai pilihan pidana malah menghambat proses hukum dan fokus pada pemulihan korban kedepan dan untuk kasus-kasus yang mungkin akan terjadi lagi.
- Date added
- Feb 24, 2022
Alert
ICJR Luncurkan Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2021 “Ketidakpastian Berlapis: Menanti Jaminan Komutasi Pidana Mati Sekarang!”
- Text
- ICJR menerbitkan laporan tahunan situasi kebijakan pidana mati di Indonesia sejak 2016. Dalam rangka mempublikasikan dan mendiskusikan temuan-temuan dalam laporan 2021, ICJR menyelenggarakan webinar peluncuran pada Kamis, 27 Januari 2022 secara daring. Dalam laporan periode 2021, temuan penting yang diangkat antara lain mengenai tren penjatuhan pidana mati dalam perkara narkotika yang tujuh tahun berturut-turut sejak 2015 hingga 2021 menduduki mayoritas kasus pidana mati di Indonesia. Pada aspek perkembangan kebijakan, laporan ICJR juga menyoroti perlunya untuk meninjau kembali pengaturan komutasi pidana mati dalam RKUHP sebagai jalan tengah, termasuk soal peluang penerapannya bagi terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi. ICJR memberikan rekomendasi khususnya kepada beberapa pemangku kepentingan.
- Date added
- Feb 22, 2022
Alert
ICJR: Pemerintah Harus Konsisten soal “Jalan Tengah” Dalam Hukuman Mati di RKUHP
- Text
- Ketidakjelasan posisi pemerintah terlihat dari rekomendasi pemerintah untuk mengubah ketentuan mengenai syarat masa percobaan yang harus dimuat di dalam putusan pengadilan oleh hakim, yang berarti tidak semua terpidana hukuman mati dapat diberikan masa percobaan ini.
- Date added
- Feb 22, 2022
Alert
Penuntutan dan Penjatuhan Hukuman Mati Saat Masa Pandemi Adalah Hal yang Mengerikan
- Text
- Penjatuhan hukuman mati harus dilakukan dalam kondisi kehati-hatian yang sangat tinggi. Perlu diingat bahwa dalam situasi normal pun, pelanggaran terhadap hak-hak fair trial atau seperangkat hak untuk menjamin peradilan berjalan dengan adil dalam banyak kasus hukuman mati sebelumnya pun masih ditemukan. Maka dalam kondisi Wabah Covid-19 yang menyebabkan pengadilan hingga kantor jasa layanan hukum tidak dapat beroperasi normal seharusnya penuntutan maupun penjatuhan hukuman mati dihindarkan.
- Date added
- Feb 22, 2022
Alert
Hentikan Narasi Populis Pidana Mati untuk Tindak Pidana Korupsi
- Text
- ICJR sangat menentang keras wacana KPK ataupun aktor Pemerintah lainnya untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi terlebih pada masa pandemi ini. ICJR merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh Pemerintah yaitu fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya. Pengguna pidana mati tidak pernah sebagai solusi akar masalah korupsi.
- Date added
- Feb 22, 2022
Alert
1 Juni 1945 – 1 Juni 2020: 75 Tahun Setelah Pidato Bung Karno tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Indonesia Masih Pertahankan Hukuman Mati
- Text
- CJR mengajak Pemerintah dan jajarannya untuk maju dan berkembang secara rohani, budaya, dan masyarakat, sesuai Sila ke-2 Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” dengan memastikan; pertama, Pemerintah termasuk DPR melahirkan kebijakan pidana yang berdasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab, salah satunya dapat dimulai dengan Rancangan Kitab Perundang-undangan Hukum Pidana (RKUHP), penghapusan hukuman mati harus kembali diwacanakan. Kedua, mempertahankan moratorium pidana mati bukan hanya dalam hal eksekusi tetapi juga dalam penjatuhan pidana dalam tahap yudisial/peradilan pidana. Ketiga, memberikan komutasi/pengubahan hukuman bagi mereka yang sudah dalam deret tunggu eksekusi mati lebih dari 10 tahun demi alasan kemanusiaan.
- Date added
- Feb 22, 2022
Alert
Hukuman Mati di Indonesia dari Masa Ke Masa
- Text
- Di Indonesia, setidaknya terdapat dua belas (12) undang-undang yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pidana. Berbeda dengan perkembangan Hukum Pidana di Belanda yang telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1870, KUHP Indonesia masih mempertahankan hukuman mati. Sebagai bagian dari pembatasan hak asasi manusia yang paling hakiki yaitu hak untuk hidup, maka sudah tentu dasar untuk mencantumkan hukuman mati harus memiliki akar yang sangat kuat dan didasarkan atas bukti dan rasionalisasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka pada titik ini menjadi penting untuk mengetahui Raison D’être sebab musabab masih dimasukannya sanksi pidana hukuman mati di pelbagai regulasi di Indonesia. Berikut hasil penelurusan Tim ICJR dalam proses pemetaan legislasi yang memuat hukuman mati sebagai hukuman sebagai upaya mencari tahu alasan berlakunya hukuman mati di Indonesia: Konsolidasi hukuman mati pertama terjadi pada masa pemerintahan Daendels (1808) yang mengatur pemberian hukuman mati menjadi kewenangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, hukuman mati pada saat itu dianggap sebagai strategi untuk membungkam perlawanan penduduk jajahan dan untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris; Konsolidasi hukuman mati kedua terjadi pada saat berlakukanya Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiaers) 1 Januari 1873 dan Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) 1 Januari 1918, meskipun Belanda telah menghapus hukuman mati di negaranya pada 1870. Hal ini dilatarbelakangi alasan rasial bahwa Negara kolonial saat itu berpikir orang-orang pribumi jajahan tidak bisa dipercaya, suka berbohong, memberikan keterangan palsu di Pengadilan dan bersifat buruk; Pada masa awal kemerdekaan, hukuman mati tetap dipertahankan dengan menyesuaikan WvS sebagai hukum pidana. Dalam konteks hukum pidana militer, hukuman mati dianggap sebagai respon untuk memperkuat strategi pertahanan negara dari situasi dan upaya mempertahankan kemerdekaan dalam kurun waktu 1945- 1949. Pada masa demokrasi liberal tahun 1951, hukuman mati dipertahankan untuk menghalau pemberontakan yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, akhirnya terbentuklah UU Darurat No. 12 Tahun 1951 yang mengatur mengenai peraturan hukuman istimewa sementara tentang senjata api, amunisi, dan bahan peledak; Pada masa Demokrasi Terpimpin 1956-1966, Presiden Soekarno mengeluarkan UU Darurat tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana ekonomi (LN 1955 Nr 27). Undang-undang ini diperkuat dengan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 21 tahun 1959 dengan ancaman maksimal hukuman mati. Keseluruhan Undang-undang ini ditujukan untuk merespon kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya. Presiden Soekarno juga mengeluarkan sebuah regulasi yang diharapkannya mampu mengurangi tingkat kejahatan korupsi dengan mengeluarkan Perpu pengganti Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN 1960 Nr 1972); Pada masa oder baru (1966-1998), pencantuman hukuman mati digunakan sebagai upaya untuk mencapai stabilitas politik untuk mengamankan agenda pembangunan. Pada masa ini beberapa kejahatan salah satunya kejahatan narkotika dianggap sebagai upaya subversif. Kejatahan korupsi pada masa ini pernah didakwa dengan menggunakan UU No. 11/PNPS/1963 tentang subversi yang menyertakan ancaman hukuman mati, walaupun pada masa ini kejahatan korupsi sendiri tidak diancam dengan hukuman mati. Beberapa legilslasi yang mencantumkan hukuman mati antara lain mengenai Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan dan Tenaga Atom; Pada masa reformasi (1998-sekarang), pencantuman hukuman mati dalam legislasi diwarnai dengan hadirnya alasan “kedaruratan” mulai dari alasan “darurat bencana” “darurat perlindungan anak” dan juga skala jumlah korban yang menjadi alasan penting untuk memberikan respon pemberatan hukuman demi kepentingan stabiltas nasional. Terdapat beberapa motif yang paling populer dalam alasan penggunaan hukuman mati di Indonesia, yakni hukuman mati memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dari ancaman hukuman lainnya. Selain memiliki efek yang menakutkan (shock therapy), hukuman mati juga dianggap lebih hemat. Hukuman mati juga digunakan agar tidak ada tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat; Seiring dengan motif ini, klaim teoritis yang dominan saat ini adalah pandangan bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera (detterent effect) yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Dengan demikian, hukuman mati bisa dijadikan sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi khusus. Di samping itu, masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan (retributif), utamanya masih dipertahankannya beberapa pendekatan dari teori absolut atas pembalasan, teori relatif, dan teori gabungan yang tentunya memberikan kontribusi penting bagi masih diberlakukannya hukuman mati di Indonesia saat ini; Dinamika Pertentangan Pemberlakuan Hukuman Mati dalam Proses Pembentukan Legislasi Pertentangan pertama terjadi pada sidang konstituante yang berlangsung pada 1955-1959. Asmara Hadi, anggota Konstituante dari Gerakan Pembela Pancasila, pada 14 Agustus 1958, Sidang ke II tahun 1958 Rapat ke 27 Konstituante mengusulkan perlunya dimuat dalam norma UUD mengenai hak hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati. Asmara Hadi sempat memprotes atas hasil kerja tim perumus yang tidak mencantumkan usulannya terkait dengan rumusan hak hidup dan larangan hukuman mati dalam Laporan Panitia Perumus tentang HAM/Hak dan Kewajiban Warga Negara pada Sidang ke II Rapat ke 29, 19 Agustus 1958. Sayangnya pandangan ini adalah pandangan minor pada saat itu dan karenanya tidak mendapatkan pembahasan yang serius pada masa tersebut; Dalam proses amandemen UUD 1945 juga terjadi perdebatan mengenai hukuman mati. Taufiqurrohman Ruki, Valina Singka Subekti, dan Slamet Efendy Yusuf adalah para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mendesakkan hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Namun begitu dalam sidang tersebut pembahasan megenai hak hidup dan hukuman mati tidak dielaborasi lebih lanjut. Pembatasan hak hidup oleh UUD 1945 seolah hanya terkunci dari ketentuan Pasal 28J UUD 1945 yaitu tentang Hak Asasi Manusia yang dibatasi oleh Hak Asasi orang lain; Walaupun Konvenan Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 tahun 2005 memperbolehkan negara-negara mencantumkan hukuman mati pada legislasinya, namun hal tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) hanya diperbolehkan untuk kejahatan yang serius. Konsep the most serious crimes dalam hukum internasional sangat terbatas pada kejahatan dengan karakteristik tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity); dengan tujuan untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely grave consequences); dan dengan cara yang sangat buruk (crime with extremely heinous methods) dan kejam di luar batas perikemanusiaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan keamanan negara. Namun begitu, dalam proses legislasi perbedatan pencantuman hukuman mati bukan dalam tataran penafsiran “the most serious crime”, dalam proses pembentukan legslasi alasan yang digunakan untuk mencantumkan hukuman mati seolah dipermudah dengan menyatakan bahwa hukuman mati memang diperbolehkan untuk dicantumkan, bukan dalam tataran sangat terbatas untuk digunakan; Pada masa reformasi perdebatan hukuman mati sayangnya tidak dapat terlepas dari konsep penggunaan hukuman mati sebagai bagian dari alat politik. Alasan kedaruratan dan responsivitas digunakan sebagai dasar pencantuman hukuman mati dalam legislasi di Indonesia tanpa penelitian berbasis bukti dan penghargaan Hak Asasi Manusia yang mempuni hal ini terlihat dalam perdebatan pembentukan legislasi yang selalu bedalil “efek jera” tanpa adanya penelitian yang komprehensif mengukur efek jera tersebut.
- Date added
- Feb 18, 2022
Alert
10 shown of 10 entities